Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

Bambang Sumantri

Alkisah hidup dua orang bersaudara, sang kaka bernama Bambang Sumantri dan sang adik bernama Bambang Sukrasana. Mereka adalah putra dari Begawan Suwandagni yang berasal dari Pertapaan Adisekar. Bambang Sumantri memiliki paras yang tampan dan berbadan kekar layaknya seorang pendekar sakti mandraguna, sedangkan sang adik Bambang Sukrasana kebalikannya dia berwajah seperti raksasa dan bertubuh cebol, walau begitu Sukrasana diberikan kelebihan lain yaitu kecerdasan, rendah hati dan pekerja keras. Mereka tinggal di padepokan milik kakeknya, untuk menimba ilmu. Mereka saling menyayangi, selalu berdua kemanapun mereka pergi.  Sumantri Mengabdi Pada suatu malam Sumantri menghadap sang kakek untuk memohon diri agar bisa pergi mencari pekerjaan dan pengalaman diluar padepokan, sang kakek menyarankan Sumantri untuk pergi ke negara Maespati dan mengabdi pada Arjuna Sasrabahu. Setelah menghadap sang kakek, Bambang Sumantri tidak bisa tidur. Dalam benaknya sedang berkecamuk pikiran apakah harus meng

Resi Bisma Dewabrata

Bisma adalah salah satu tokoh terkuat dalam lakon Mahabarata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah atau istilahnya hidup sebagai Brahmacarin. Bisma juga berumur panjang, dimana dia hidup pada lima generasi Raja Astinapura. Bisma adalah anak pertama dari Raja Santanu dan Dewi Jahnawi, sebagai anak pertama Raja Santanu, sejatinya Bisma adalah penerus yang sah kerajaan Astinapura. Saat Raja Sentanu meminang Dewi Jahnawi, Dewi meminta satu syarat yaitu Sentanu harus memanjakannya, artinya tidak boleh bertanya siapa sebenarnya ia itu, bahkan tidak boleh menghalang-halangi apapun yang diperbuatnya, walau buruk sekalipun. Sekali-kali Sentanu tidak boleh murka dengan alasan apapun kepadanya.  Tetapi untuk waktu yang cukup lama perkawinan itu tidak mendatangkan rasa bahagia, bahkan Sentanu selalu diliputi rasa cemas dan dosa atas perbuatan permaisurinya yang setiap kali melahirkan bayi segera dilemparkan ke dalam sungai Gangga. Sentanu tidak berani sepatahpun menegornya, karena

Wibisana / Gunawan Kuntawibisana

Gunawan Kuntawibisana atau lebih terkenal dengan sebutan Wibisana adalah saudara bungsu Rahwana, tidak seperti kakaknya yang lain yang berwujud Raksasa, Wibisana berwujud manusia seperti sang ayah Wisrawa. Wibisana dilukiskan berwajah tampan, dia adalah anak bungsu dari Resi Wisrawa dari padepokan Argawirangin dan Sukesi (Raksasa) dari kerajaan Alengka. Wibisana menikah dengan bidadari bernama Triwati. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Trijata dan Bisawarna. Trijata bertindak sebagai perawat dan penjaga Sinta ketika dikurung oleh Rahwana. Ketika Rahwana menculik Dewi Sinta, Wibisana menentangnya. Wibisana meminta Rahwana untuk mengembalikan Dewi Sinta kepada Sri Rama. Rahwana menolak permintaan sangadik, bahkan Rahwana mengusir Wibisana dari Alengka. Setelah diusir oleh Rahwana Wibisana berpihak pada Sri Rama, sedangkan Kumbakarna  (yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela Alengka (tanah

Antasena

Antasena adalah putra bungsu dari Bimasena atau Bima dan Dewi Uaranganyu, Antasena adalah tokoh Mahabarata yang tidak ada dalam cerita aslinya (India). Bisa dibilang Antasena adalah salah satu tokoh wayang buatan pujangga Indonesia yang disisipkan pada wiracarita Mahabarata. Antasena mempunyai keahlian amblas kedalam bumi dan menyelam dalam air, dapat hidup di dalam air, dan mempunyai tanduk sakti. Siapa saja yang terkena tanduknya akan meleleh dan mati seketika. Kulitnya terlindung oleh sisik udang yang membuatnya kebal terhadap segala jenis senjata. Saat Antasena masih dalam kandungan, Kahyangan Suralaya diserbu oleh Prabu Dewa Kintaka dari Kerajaan Guwacinraka yang bemaksud untuk merebut dan menikahi Batari Kamaratih.  Antasena yang masih dalam kandungan, dikeluarkan oleh Sang Hyang Narada, dan diajukan ke peperangan. Berkat perlindungan Sang Hyang Wenang, Antasena mampu mengalahkan Prabu Dewa Kintaka dan pasukannya. Setelah mampu mengalahkan musuh kahyangan, Antasena diserahkan kep

Ngalengkadiraja / Alengka

Ngalengkadiraja atau juga disebut Kerajaan Alengka adalah sebuah kerajaan yang pada masa jayanya dipimpin oleh Rahwana, dan menjadi tempat pertempuran antara Rahwana dan Sri Rama yang dimenangkan oleh Sri Rama. Raja Ngalengkadiraja Dalam pewayangan Raja pertama ngalengkadiraja atau Alengka adalah Prabu Hiranyakasipu, Hiranyakasipu sendiri gugur ditangan Maharaja Suman. Hiranyakasipu kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Banjaranjali, Rahwana sendiri menjadi Raja terakhir ngalengkadiraja, setelah Rahwana kalah oleh Sri Rama, ngalengkadiraja tidak lagi jadi pusat kerajaan dan memindahkan ke Singgelapura. Masa Keemasan Ngalengkadiraja. Rahwana menjadi raja yang membawa Kerajaan Alengka pada kejayaannya, tetapi pada akhirnya juga hancur dan kalah. Dibawah kepemimpinan Raja Rahwana, dia membuat penduduknya begitu sejahtera. Kerajaan Alengka dikenal sebagai kerajaan yang sangat makmur dan kaya, karena banyak bangunan yang terbuat dari emas. Sri Rama Menyerang Ngalengkadiraja Karena

Nakula

Nakuka atau dalam pewayangan kadang dipanggil  Pinten adalah putra keempat Prabu Pandu Raja Hastinapura dengan permaisurinya Dewi Madri. Terlahir kembar dengan sang adik yaitu Sadewa atau Sahadewa. Nakula dan Sadewa adalah titisan Batara Aswin, dewa tabib yang juga kembar. Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.  Nakula mempunyai dua orang istri, yaitu: Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putra masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Istri kedua adalah Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanganala dikenal se